Nasional

Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya

NU Online  ·  Selasa, 20 Mei 2025 | 07:00 WIB

Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya

Psikiater menjelaskan faktor penyebab fantasi sedarah. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Grup Facebook ‘Fantasi Sedarah’ menjadi pembicaraan di media sosial. Pasalnya, grup tersebut berisi orang yang membicarakan fantasi seksual dengan anggota keluarga atau inses, bahkan menjadikan anak-anak sebagai objek kekerasan sesksual.


Psikiater atau Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Umum (RSU) Yasri, Jakarta dr Citra Fitria Agustina menyampaikan bahwa inses seperti yang terjadi dalam grup tersebut termasuk dalam kategori kelainan seksual. Menurutnya, kondisi ini sangat berbahaya, terlebih karena anak-anak sangat rentan menjadi korban.


“Korbannya dominan kepada anak atau yang lebih lemah yang mudah dibohongi,” ujarnya saat dihubungi NU Online pada Senin (19/5/2025).


Menurut dr Citra, kelainan seksual seperti ini bisa muncul akibat berbagai faktor, di antaranya adanya riwayat kekerasan dalam keluarga atau kurangnya kasih sayang selama masa kecil.


“Mungkin ada yang salah nih dari orang dewasanya, kok dia mau sama anaknya sendiri, adiknya sendiri, ponakannya sendiri. Si pelaku ini terbiasa melihat di dalam keluarga sebelumnya dan perilaku ini akan terus berulang jika tidak dihentikan,” katanya.


Sekretaris Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) itu menyayangkan minimnya pendidikan seksual pada warga Indonesia. Ia mengatakan bahwa ketidaktahuan inilah yang membuat orang mengira inses sebagai hal yang wajar, padahal pendidikan seksual bertujuan untuk melindungi organ reproduksi.


“Anak itu harus sering diajarin tentang edukasi seksual atau batasan mana yang boleh melihat kelamin itu hanya ibu dan bapaknya jika bapaknya tidak kelainan atau bapaknya baik-baik saja,” ucapnya.


“Anak perempuan itu sampai dua tahun boleh dibantu cebok sama bapaknya, tetapi kalau sudah melebihi dua tahun sudah sama ibunya saja, supaya kejadian itu tidak terjadi,” sambungnya.


dr Citra menyinggung kasus tragis yang terjadi di Banyuwangi pada tahun 2024, di mana seorang bapak memperkosa anak kandungnya secara berulang hingga mengakibatkan kehamilan.


“Itu pasti sudah gangguan mental yang berat bagi pelaku dan korban,” ujarnya.


Ia menyampaikan bahwa korban kekerasan seksual dalam keluarga sangat berisiko mengalami depresi, gangguan kecemasan, dan trauma jangka panjang. Oleh karena itu, pemulihan psikologis harus melibatkan seluruh anggota keluarga.


“Yang disembuhkan itu ya tiga orang, misal ibunya si pelaku, anaknya si korban, dan bapaknya sebagai kepala keluarga,” ucapnya.


Citra mengimbau warga Indonesia untuk tidak diam apabila menemukan kasus inses. Ia menegaskan bahwa saat ini sudah banyak tempat pengaduan yang tersedia, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, dan Puskesmas.


“Korban harus berani melapor, semua harus berani bicara. Jangan takut,” tegasnya.