Cerpen

Kucing-Kucing Kosan

NU Online  ·  Ahad, 18 Mei 2025 | 19:30 WIB

Kucing-Kucing Kosan

Ilustrasi (Freepik)

Aku tidak tahu dari mana mereka berasal, tiba-tiba mereka bertiga sudah ada di depan pintu kosanku. Usia mereka, perkiraanku sekitar tiga bulan. Aku menamai mereka Mona, Lisa, dan Tom. Setiap pagi dan sore aku memberi mereka makanan kucing yang kubeli dari minimarket. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Nah, setiap kali aku lupa memberi mereka makan, kucing berwarna orange-hitam ini dengan kompak mengetuk pintu kosanku.


Nasib buruk menimpa Tom, tiga bulan kemudian ia mati. Dari gejalanya, sudah sangat jelas ada yang meracuninya. Aku pun menguburkannya di lahan kosong tak jauh dari kosan tempatku tinggal. Sepeninggal Tom, hidup berjalan seperti biasanya. Memang begitulah kehidupan. Mona dan Lisa tak merasa sedih kehilangan saudaranya. Barangkali yang dipikiran mereka, jatah makan Tom akan jatuh kepada mereka.


Perlahan tetapi pasti, Mona dan Lisa tumbuh menjadi kucing dewasa. Dari sinilah permasalahan dimulai. Lisa tidak lagi berada di kosanku. Usut punya usut Lisa berada di tetangga kosanku, Dedi namanya. Dedi yang bekerja sebagai kepala mandor merayunya, hingga akhirnya Lisa mau tinggal bersamanya.


Agak mengherankan sebenarnya, sebab dulu Dedi tak suka kucing. Setelah aku tanya, ternyata gara-gara ia berkunjung ke rumah bosnya. Di mana bosnya memelihara kucing jenis persia. Kata Dedi, berhubung kucing persia mahal, maka kucing kampung menjadi pilihannya. Wajar sih Lisa meninggalkanku. Di kosan Dedi ia diberi makan tiga kali dengan makanan kucing yang mahal pula. Tak lupa ia juga dikasih kalung. Selain itu, disediakan kandang dan pasir untuk berak. Sementara itu Mona masih setia kepadaku. Tak berselang lama, Mona hamil. Aku yakin betul, nanti anaknya menjadi kucing yang bagus. Sebab, aku sering melihat Mona bermain di komplek tak jauh dari kosanku, komplek yang penuh dengan kucing anggora.


Singkat cerita Mona melahirkan di kardus samping rak sepatuku. Dugaanku tak meleset, benar saja ia melahirkan tiga anak kucing yang mirip dengan kucing anggora. Anak kucing berwarna hitam-putih diberi nama Black, berwarna putih kuberi nama Otan. Lalu yang berwarna orange-putih kuberi nama Ocan.

 

Dedi yang mengetahui kalau Mona melahirkan kucing yang mirip anggora, membuatnya berharap kalau Lisa juga bernasib sama. “Semoga Lisa bisa punya anak seperti Mona,” ujarnya padaku sewaktu aku menjemur pakaian.


“Eh itu anaknya kalau sudah besar buatku yah, mau aku bawa ke kampung,” imbuhnya.

 

“Enak saja,” timpalku.

 

“Nanti aku bakal pakai cara seperti caraku mengambil Lisa,” jawabnya. Aku pun hanya diam menanggapi omongan dari tetangga kosanku itu.


Ketika Black, Otan, dan Ocan sedang lucu-lucunya, Black hilang. Setelah aku tanya ke tetangga kosan bernama Nino, ternyata Black dibawa oleh orang dengan menggunakan motor. “Iya Om, tadi aku lihat dibawa sama orang pakai motor,” ujarnya.

 

“Kenapa nggak dicegah, itu kan kucing kepunyaanku,” timpalku dengan nada kesal. Memang beberapa tetangga kosanku tidak suka dengan kucing. Keesokan harinya Dimas anak Nino yang masih kelas satu SD menghampiriku mengatakan “Om semalam ada orang pakai motor, nanya ke bapaku itu kucing siapa. Lalu bapaku bilang sana ambil saja.”

 

“Sama nenekku aku juga diminta untuk membuang jauh kucing dan anak-anaknya, tetapi aku nggak mau om,” imbuhnya. Nenek dimas ini adalah pemilik kosan tempatku tinggal. Tentu aku kesal dengan hal tersebut, sebab bukan mereka yang memberikan makan. Lagian juga Mona tak buang air sembarangan, ia selalu buang air di selokan. Tak pernah pula mencuri lauk. Ia juga tidak pernah mengeong-ngeong. Seminggu kemudian, Mona dan kedua anaknya yang tersisa hilang. Aku berspekulasi ada dua kemungkinan, ada yang mengambilnya atau ada yang membuangnya.


Sepeninggal Mona, Lisa jadi sering berkunjung ke teras kosanku. Tak hanya sekedar rebahan di lantai, ia juga mengetuk pintu kosanku, kebiasaan lama jika ia lapar. Ketika aku beri makan, makanan kepunyaan Mona, ia tak mau memakannya. Aku pun kesal dibuatnya dan berucap “Kalau mau makanan kucing yang mahal, sana ke Bos Dedi. Kalau di sini adanya ini.” Maka tatkala ia mengetuk pintu kosan, aku tidak membukanya, sebab pasti ia tidak memakannya.


Ketika aku mau membeli makan malam dan lewat di depan kosan Dedi, Lisa dilarang masuk ke dalam, dicegah dengan menggunakan sapu. Barulah aku tahu kalau Lisa dibuang oleh Dedi. Aku menanyakan hal apa yang membuat Dedi tak mau lagi merawat Lisa. Ternyata gara-gara Bapak Tebe, kucing kampung tua yang sering bermain di komplek kosan tempat aku tinggal. “Sering main sama Bapak Tebe,” ujarnya.

 

Lisa yang bukan lagi kucing rumahan yang dimanja oleh bosnya, kini nampak frustasi. Ia jadi minum air comberan, mengeong-ngeong di depan kosanku. Jika sudah begini aku pun memberinya makan. Tentu saja disertai dengan ucapan dengan harapan ia mengerti maksudku “Kalau mau makan enak ya sana ngeong-ngeong ke Bos Dedi.” Mulanya makanan pemberianku dibiarkan begitu saja. Tetapi akhirnya dimakan juga, tentu saja karena lapar. “Semenjak dirawat sama Dedi, si Lisa jadi menyebalkan,” jawabku di video call ketika ditanya oleh pacarku mengapa mukaku nampak kesal.


Aku semakin kesal kepada Lisa, manakala ia meletakkan bangkai curut di depan pintu kosanku. Kebetulan aku membuka pintu, maka langsung masuklah curut itu ke dalam. Jadilah aku harus memburu curut itu. Sekesal-kesalnya diriku, tak pernah sampai hati memukul, paling cuman ngedumel saja. “Kalau mau protes jangan ke diriku, tetapi ke Bos Dedi sana.” Bukan hanya sesekali Lisa berbuat demikian, tetapi berulang kali. Singkat cerita Lisa Hamil, melahirkan tiga kucing berwarna hitam putih di kardus dekat rak sepatuku. Ketiga anaknya ini wajahnya mirip sekali dengan Bapak Tebe. Tetapi ketiga anaknya mati setelah sebulan. Aku menduganya karena Lisa depresi, sehingga membuat anaknya jadi sakit.


Sepeninggal anaknya, Lisa tak lagi bermain dengan Bapak Tebe. Mungkin ia sudah sadar bahwa Bapak Tebe lah penyebab ia diusir oleh Dedi. Kini Lisa lebih sering bermain ke komplek perumahan yang banyak kucing anggoranya. Aku menduga ia melakukan itu untuk bisa kembali ke Dedi. Namun sayang, sebelum Lisa melahirkan, Dedi harus pindah tempat tinggal. Sebab, ia ditugaskan ke tempat lain.

 

Di kehamilan kedua ini, Lisa melahirkan tiga anak berwarna hitam putih. Tentu saja ketiga anak ini bagus-bagus, sebab berasal dari bibit, bobot, bebet yang top, kucing anggora. Ia kembali melahirkan di kardus dekat rak sepatuku. Namun, perilaku Lisa ini agak aneh. Setiap kali aku berusaha untuk menyentuh anaknya, ia malah mencakar. Aku menduga kalau Lisa takut kalah saing, dimana diriku nantinya akan memberi makan lebih banyak kepada ketiga anaknya. Dengan kata lain Lisa akan kalah saing. Aku pun tak sempat memberi nama ketiga kucing itu.

 

Benar saja, sebulan kemudian Lisa memindahkan anak-anaknya dari kardus samping rak sepatu. Entah ke mana ia memindahkannya, tetapi yang jelas tidak jauh dari kosanku. Sebab Lisa masih sering mengetuk pintu kosanku meminta makan. Sesekali anaknya ngintil (ikut), namun buru-buru anaknya Lisa usir. Mungkin ia mengatakan “Sana pulang.”

 

Lama anaknya tak ikut Lisa ke kosanku. Dimas pun memberi tahu kalau ketiga anak Lisa dirawat oleh mahasiswi yang tinggal tak jauh dari kosanku. “Alhamdulillah deh kalau begitu, ada yang merawat,” ujarku.

 

Tak berselang lama Lisa hamil lagi. Ia melahirkan tiga anak berwarna hitam-putih, hasil dari kucing anggora komplek perumahan sebelah. Ia kembali melahirkan di kardus dekat rak sepatuku. Kali ini aku tak mau memberikannya nama. Satu bulan kemudian, kedua anaknya hilang. Nampak raut wajah Lisa sedih, orang tua mana coba yang tidak sedih jika anaknya diculik. Aku yakin betul kalau kedua anak Lisa dibuang. Dugaanku tidak meleset, aku menjumpai kedua anak Lisa di dekat warung sambal dardak yang jaraknya satu kilometer dari kosanku, dekat jalan besar. Aku sangat yakin kalau kedua kucing itu anak Lisa. Aku berusaha untuk menangkapnya. Namun, aku dicegah oleh penjual sambel dardak. Katanya ia dikasih kedua kucing ini oleh anak kecil.

 

“Katanya ia diperintah sama neneknya,” ujarnya. Aku pun menjelaskan bahwa itu adalah kucing milikku. “Tetapi om, nanti anak saya nangis kalau kucing ini diambil.” Aku pun tak jadi mengambilnya. Tetapi aku bisa bernafas lega, sebab kedua anak Lisa pasti terjamin makannya. Aku menduga kedua kucing ini dibuang oleh Dimas.


Lisa pun tampaknya sudah mengikhlaskan kedua anaknya yang dibuang. Anak satu-satunya nampak trauma, sebab setiap kali ada manusia ia akan bersembunyi. Sepertinya, ia menyaksikan bagaimana saudara-saudaranya diculik.


Sebelum dewasa, posisi anak Lisa yang tersisa ini juga tidak akan aman. Ia bisa sewaktu-waktu dibuang, bahkan mungkin diracun. Memang benar, di suatu sore, Lisa menggedor-gedor pintu kamar kosanku. Tak hanya sekedar menggedor, ia juga mengeong-ngeong, seolah-olah meminta tolong. Lalu samar-samar terdengar suara khas anak kucing.


Aku pun mencari-cari sumber suara anak kucing itu. Aku cari ke terowongan got depan kosan tidak ada apa-apa. Aku cari ke dalam motor, barangkali masuk ke dalam mesin, juga tidak ada. Ternyata di atas genting. Tentu saja aku dibuat bingung bagaimana cara menurunkan anak Lisa. Dalam benakku saat itu, aku harus mencari tangga. Aku mondar-mandir ke tetangga kosan sekitar, menanyakan apakah mereka memiliki tangga. Tak ada satupun yang memiliki tangga. Si Lisa juga ikut mondar-mandir di belakangku. Dan aku baru ingat bahwa aku takut ketinggian juga.


Ketika azan Maghrib berkumandang, muncul sebuah ide. Kenapa Lisa tidak aku lemparkan saja ke atas genteng. Pasti Lisa akan membawa anaknya dengan menggunakan mulut, lalu melompat turun. Segera aku ambil Lisa dan melemparkan sekuat tenaga ke atas genteng. Dengan sekali percobaan berhasil. Lisa pun membawa anaknya dengan menggunakan mulut dan berhasil turun dengan sekali lompatan.


Aku pun berpikir siapa gerangan yang tega melemparkan anak kucing ke genteng. Melihat ekspresinya tadi, tidak mungkin Lisa membawa anaknya ke genteng, lalu meninggalkannya. Pasti ada yang melemparkannya ke genteng. Keesokan harinya pemilik kosan yang merupakan nenek Dimas menagih uang kosan, sebab memang waktunya membayar. Setelah transaksi ia bertanya kepadaku apakah suka kucing.


“Rijal, kamu suka kucing ya?”


“Iya Nek.” jawabku.

 


Malik Ibnu Zaman lahir di Tegal Jawa Tengah. Menulis cerpen, puisi, esai, dan resensi yang tersebar di beberapa media online. Buku pertamanya sebuah kumpulan cerpen berjudul Pengemis yang Kelima (2024).