Pakar: Negara Harus Pastikan Premanisme Tak Jadi Alat Politik karena Mengganggu Demokrasi
Kamis, 8 Mei 2025 | 16:45 WIB
Jakarta, NU Online
Pakar Demokrasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Titi Anggraini mengatakan bahwa premanisme yang terjadi di Indonesia dapat mengganggu praktik-praktik demokrasi yang sudah berjalan sedemikian rupa.
Menurut Titi, premanisme yang kini marak di Indonesia banyak dimotori oleh kalangan politisi yang memanfaatkannya sebagai alat politik elektoral untuk mengumpulkan suara pemenangan pemilu. Ia berharap, negara atau pemerintah mampu hadir dalam penguatan hukum untuk mengurangi kasus-kasus premanisme.
"Negara juga harus memastikan mereka tidak digunakan sebagai alat politik elektoral secara menyimpang yang kemudian menghambat penegakan hukum," katanya saat ditemui NU Online di FH UI, Depok, Jawa Barat, pada Kamis (8/5/2025).
Menurutnya, pembersihan premanisme dapat dilakukan tidak hanya dengan pendekatan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), tetapi juga penegakan hukum yang dilakukan secara terbuka, akuntabel, dan proporsional.
"Pemenuhan hak asasi manusia baik berupa kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul itu memang dijamin oleh konstitusi tapi tidak berarti bisa dilakukan dengan cara sewenang-wenang atau mengganggu pemenuhan hak dari orang lain," katanya.

Lebih jauh tentang preman menjadi alat-alat politik, Titi mengungkapkan, preman-preman itu juga dipakai untuk mengamankan kepentingan bisnis dan ekonomi para tokoh politisi.
"Ormas-ormas preman ini bukan hanya bekerja sebagai kantong-kantong politisi tetapi juga sebagai alat pengamanan unit-unit bisnis para politisi," katanya.
Sementara itu, Peneliti Murdoch University, Australia Ian Douglas Wilson mengatakan bahwa isu preman yang mengganggu investasi besar di Indonesia bukanlah hal yang mengejutkan.
Bagi Wilson, solusinya terletak bukan pada kekerasan, tetapi pada negosiasi. Ia menyarankan agar aparat penegak hukum dan pejabat lainnya untuk menjalin kesepakatan dengan para preman dan pendukung kuat mereka.
"Premanisme sangat mengakar dalam klienelisme (pihak yang menerima) dan politik patronase (hubungan timbal balik), pada tingkat yang melampaui hukum dan ketertiban," kata Wilson dalam artikel Indonesia’s EV Revolution Held Hostage by ‘Preman’ Gangster Problem.
"(Politik Indonesia) semuanya tentang pembuatan kesepakatan. Siapa pun bisa membuat kesepakatan dengan siapa saja karena tidak ada hambatan ideologis, dan ini terjadi dari atas sampai bawah," terangnya.