Nasional

Ini Dampak Negatif dan Positif Pendidikan Anak di Barak Militer Menurut Psikolog

NU Online  ·  Senin, 5 Mei 2025 | 13:00 WIB

Ini Dampak Negatif dan Positif Pendidikan Anak di Barak Militer Menurut Psikolog

Gambar ini hanya sebagai ilustrasi. (Foto: AI)

Jakarta NU Online

Dosen Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Novi Poespita Candra mengatakan, pengiriman anak-anak remaja bermasalah ke barak militer dapat menimbulkan dampak negatif.


Ia menyebut sebuah penelitian yang menyatakan bahwa program militer bagi anak-anak bermasalah dapat menyebabkan trauma karena culture shock atau gegar budaya.


Kedisiplinan yang ditanamkan dalam pendidikan di barak militer juga dikhawatirkan tidak akan bertahan saat anak-anak yang dididik itu kembali di kehidupan nyata.


Hal ini karena pendekatan militer menggunakan pendekatan behavioristik yaitu reward (pemberian hadiah) dan punishment (pemberian hukuman).


"Maka perilakunya tergantung pada otoritas. Jika otoritasnya tidak ada, maka perilakunya akan hilang. Padahal dalam pendekatan humanistik, kedisiplinan, tanggung jawab harusnya dibangun dengan kesadaran diri. Kesadaran diri itu dibentuk dengan refleksi dan dialog," ujarnya kepada NU Online, pada Sabtu (3/5/2025).


Menurut Novi, pendekatan militer bukan satu-satunya cara untuk menangani anak-anak remaja bermasalah. Ia menegaskan bahwa mendidik anak-anak remaja ke barak militer bukan cara tepat untuk menyelesaikan akar masalahnya.


Novi beranggapan bahwa pendekatan militer yang lebih cenderung bersifat behavioristik atau instruktif hanya mampu mengelola symptom atau gejala. Untuk menyelesaikan akar permasalahan dan membenahi perilaku hingga terbangun belief system atau sistem kepercayaan, pendidikan remaja juga harus dilengkapi dialog dan kegiatan-kegiatan sosial agar tumbuh empati.


"Sekolah dan rumah saat ini meskipun tempatnya anak anak-anak sipil, tapi sayangnya pendidikan kita sebenarnya juga menggunakan pendekatan behavioristik, didominasi bahasa instruksi dan minim dialog yang menjadi pendekatan humanistik," paparnya.


Hal ini menyebabkan problem-problem yang dimiliki remaja tidak diselesaikan dengan dialog dan tidak mendapat kesempatan penyembuhan, sehingga menimbulkan luka sosial.


"Tapi sayang lagi-lagi permasalahan mereka diselesaikan dengan cara sederhana: hanya pendekatan behavioristik yaitu militerisme," tuturnya.


Ia menjelaskan, problem yang dialami anak-anak remaja biasanya terkait masalah emosi dan sosial. Menurut teori Daniel Goleman, anak-anak remaja bermasalah itu tidak memiliki kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial atau empati, dan pembuatan keputusan yang bertanggung jawab.


"Maka masalahnya perlu diselesaikan dengan cara memperbanyak pendidikan yang berorientasi pada pengembangan emosi dan sosialnya," terang Novi.


Dampak positif

Pakar Psikologi Perkembangan Emosi Sosial Anak dan Remaja ini tidak menampik dampak positif kebijakan pengiriman anak-anak remaja bermasalah ke barak militer.


Menurutnya, berdasarkan beberapa penelitian psikologi, kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini mempunyai implikasi positif.


Pengiriman anak-anak remaja bermasalah, khususnya laki-laki ke barak berdampak pada sikap disiplin, tanggung jawab, dan perubahan perilaku hingga menjadi lebih terarah.


Hal itu terjadi karena anak-anak bermasalah berada di tempat baru, terhindar dari lingkungan lamanya yang menjadi sumber masalah sehingga berpotensi membentuk perilaku baru.


Di barak militer, terdapat pola aturan yang jelas yaitu pendekatan behavioristik. Saat anak berperilaku baik akan mendapat reward (hadiah) dan apabila tidak sesuai akan mendapat punishment (hukuman).


"Alasan lain untuk penelitian yang menganggap positif juga menemukan bahwa berada di camp militer dengan berbagai kegiatan dan program memberi kesempatan pada anak-anak yang tadinya tidak tahu arah, kebingungan dan lain-lain, mulai bisa menata dirinya dengan mengikuti struktur program yang ada dan lingkungan baru," katanya.


Program pendidikan militer untuk anak-anak remaja bermasalah juga akan memberi dampak positif pada pendisiplinan dan pemenuhan tanggung jawab, apabila didesain sesuai usia mereka.


Dosen Psikologi Klinis Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga Jawa Tengah Aufa Abdillah Hanif menyatakan, pendidikan militer barak sifatnya hanya sementara, bukan untuk menyelesaikan akar masalah, bahkan berpotensi menumbuhkan luka psikologis bagi anak.


Ia menegaskan, pendidikan dengan mengedepankan aspek psikologis seperti konseling, terapi perilaku, dan pembinaan karakter yang konsisten merupakan hal yang utama.


“Oleh karena itu, solusi yang paling tepat adalah intervensi berbasis pemahaman, empati, dan dukungan profesional, bukan semata-mata pendekatan disiplin fisik,” ujarnya.


“Jadi, meskipun mengirim ke barak bisa menjadi  langkah cepat, tetap dibutuhkan strategi jangka panjang yang melibatkan guru, konselor, dan keluarga agar perubahan yang terjadi benar-benar bermakna dan tidak menimbulkan efek samping psikologis,” tambahnya.


Meski demikian, ia mendukung program pengiriman anak bermasalah ke barak yang dicanangkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.


Ia mengatakan, anak-anak remaja bermasalah itu biasanya mengalami lingkungan yang tidak stabil dan penuh konflik, sehingga barak memberikan struktur, rutinitas dan aturan yang jelas secara psikologis, memberi rasa aman, dan arah bagi mereka.


Menurutnya, pendidikan militer ala barak mampu membentuk ketahanan mental dan emosi anak, melatih mental mereka menjadi tangguh, disiplin, dan mampu menghadapi tekanan secara terkontrol. Jika dilakukan dengan pendekatan yang sehat, maka bisa mendorong perkembangan kontrol diri dan rasa tanggung jawab pada anak remaja.


“(Pendidikan barak bisa untuk) menghindari lingkungan sosial (anak remaja) yang merusak. Untuk beberapa anak, lingkungan asalnya sangat berpengaruh buruk (narkoba, kekerasan dan geng). Pendidikan barak bisa menjadi intervensi sosial yang mengganti pengaruh negatif dengan pengaruh positif, selama pendampingnya kompeten,” ujarnya.


Ia juga menyebut, pendidikan barak di barak militer ini sesuai dengan perspektif psikologis asalkan didesain secara terapeutik (memberikan terapi), terstruktur, dan humanistik.


Pendidikan anak nakal di barak militer juga bisa memberi pengalaman perbaikan mental bagi anak-anak yang mengalami gangguan perilaku dan lingkungan sosial yang merusak. Namun, Pendidikan ini tetap harus mematuhi prinsip non-kekerasan, pendampingan psikologis, dan fokus pada pengembangan karakter jangka panjang anak, bukan sekadar penundukan perilaku sesaat.


Pendidikan militer ala barak, kata Aufa, mampu menyebabkan perubahan perilaku pada anak-anak remaja yang bermasalah apabila pendidikan tersebut orientasinya membina bukan menekan. Ada jaminan mereka bisa berubah, apabila program pendidikan di barak militer ini dilaksanakan secara terstruktur, ilmiah, terkontrol, dan ada tindak lanjut jangka panjang.


Dampak negatif

Meski begitu, Konselor Psikologi Biro Psikologi Tazkia UIN Salatiga ini mengungkapkan, ada kemungkinan dampak negatif dari pendidikan militer barak yaitu anak-anak menjadi patuh karena takut, bukan karena kesadaran.


Kemudian perubahan mereka hanya bertahan di lingkungan terkontrol. Apabila mereka kembali ke lingkungan semula, mereka dikhawatirkan akan kembali ke pola karakter lama.


Ia menilai, pendidikan militer ala barak ini posisinya bukan untuk mengganti peran guru Bimbingan Konseling (BK).


Menurutnya, kebijakan ini muncul karena respons atas keadaan darurat dari kondisi anak-anak remaja yang mencerminkan kelemahan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Salah satunya lemahnya dukungan dan sumber daya guru BK.


“Peran BK bersifat preventif dan rehabilitatif dengan pendekatan psikologis yang tidak bisa digantikan oleh pendekatan militer yang lebih menekankan kedisiplinan fisik. Maka kebijakan ini sebaiknya dilihat sebagai pelengkap, bukan pengganti dan harus tetap melibatkan tenaga profesional dalam pendidikan dan kesehatan mental anak,” paparnya.