Gonta-ganti Istilah dan Kebijakan Dinilai Bikin Pendidikan Indonesia Jalan di Tempat
NU Online · Kamis, 1 Mei 2025 | 10:30 WIB
Muhammad Asrofi
Kontributor
Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Achmad Zuhri menilai fenomena gonta-ganti istilah dan kebijakan pendidikan yang terus-menerus terjadi membuat pendidikan Indonesia berjalan di tempat.
“Kami melihat justru kesannya yang terjadi adalah balas dendam terhadap kebijakan dan ini tentu tidak sehat bagi good governance,” kata Zuhri saat diwawancarai NU Online pada Rabu (30/4/2025).
Cepatnya perubahan istilah dan kebijakan tanpa evaluasi yang matang justru membuat pendidikan nasional stagnan. Menurutnya, perubahan yang tidak terarah ini telah menimbulkan kebingungan di kalangan guru, siswa, maupun wali murid.
"Jadi, masyarakat pendidikan di bawah ini menjadi bingung, semacam ada istilah yang sudah melekat bahwa ganti menteri bukan hanya ganti kebijakan, tapi sekarang ganti istilah. Hal ini sungguh terasa membuat teman-teman guru bahkan wali murid semua menjadi bingung karena aturan itu berganti-ganti begitu cepat," lanjutnya.
Ia mendorong pemerintah agar memiliki grand design pendidikan nasional yang solid, menyeluruh, dan terintegrasi, serta melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam proses penyusunannya.
“Ini sebenarnya kita agak carut marut pengelolaan pendidikan kita, baik dari yang di pendidikan, pendidikan non keagamaan, itu tidak sinkron. Jadi, saya kira perlu momentum RUU sedang dibahas lagi, nah itu perlu melibatkan stakeholder secara terbuka. Kemudian kita bisa mencermati,” jelasnya.
Zuhri juga menyoroti keterbukaan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), termasuk rencana penyisipan Undang-Undang Pesantren.
“Saya juga menaruh perhatian pada Undang-Undang Pesantren ini juga mau masuk dalam revisi RUU Sisdiknas. Namun memang kita melihat belum ada keterbukaan dari pemerintah maupun DPR. Nah, saya kira itu perlu menjadi catatan seperti kita bersama,” ujarnya.
Menurut Zuhri, perubahan kebijakan dan istilah yang begitu cepat membuat masyarakat kehilangan kepastian hukum dalam menyekolahkan anak-anaknya. Hal demikian membuat munculnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Ia juga meminta agar Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) tidak mementingkan sektoral dalam merumuskan dan mengimplementasikan desain pendidikannya, serta lebih fokus pada pelaksanaan kebijakan yang berkelanjutan.
Penjurusan di SMA
Salah satu kebijakan yang turut disampaikan adalah perubahan sistem penjurusan di tingkat SLTA. Menurut Zuhri, kebijakan tersebut belum berjalan maksimal, tetapi sudah hendak dibatalkan.
"Saya kira itu perlu evaluasi, kebijakan ini belum berjalan sepenuhnya tapi sudah mau dianulir. Tadi bilang saya ini semacam hanya balas dendam kebijakan jadinya ini loh. Harusnya berkelanjutan atau berkesinambungan. Apa evaluasinya, bagaimana harusnya yang baik. Jangan tiba-tiba ini setelah dilaksanakan kemudian sudah dibatalkan," tegasnya.
Di lapangan, perubahan kebijakan pendidikan juga dirasakan langsung oleh para guru. Wakil Kepala Bidang Kurikulum MA NU 01 Banyuputih, Batang, Jawa Tengah, Ahmad Hasan mengungkapkan bahwa sekolah di daerah harus terus menyesuaikan dengan kebijakan pusat yang terus berubah.
“Setiap tahun kami harus menyesuaikan program dari atas. Di sisi lain kita juga bingung mau pakai kebijakan yang baru, kita juga belum seratus persen bisa. Akhirnya kita mengikuti kebijakan dengan janji-angsur," kata
Ia menjelaskan perubahan dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka yang harus diterapkan secara bertahap, mulai dari kelas 10 hingga kelas 12. Menurutnya bahwa perubahan ini paling berat dirasakan oleh guru.
"Kesulitannya kita harus menyesuaikan dengan kurikulum yang baru, terutama di guru. Karena guru harus menyesuaikan kebijakan yang baru misal perubahan dari RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) ke modul ajar, dari Prota (Program Tahunan) ke KKTP (Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran). Itu kesulitan kita pertama di guru, kalau siswa si mengikuti," terangnya.
"Harapannya tidak mengganti kebijakan yang baru tapi mencapai yang sudah ada. Kalau misal ada evaluasi kekurangan apa itu ditambah, jangan diganti dengan kebijakan yang baru, ini belum selesai ganti yang baru lagi," ujarnya.
Terpopuler
1
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Kabar Duka: Ibrahim Sjarief, Suami Jurnalis Senior Najwa Shihab Meninggal Dunia
6
Ribuan Ojol Gelar Aksi, Ini Tuntutan Mereka ke Pemerintah dan Aplikator
Terkini
Lihat Semua