Tarif Tinggi dan Pembatasan Layanan Jadi Tantangan Perdagangan di Indonesia
Senin, 12 Mei 2025 | 23:00 WIB
Jakarta, NU Online
Indonesia menempati peringkat ke 122 dari 122 negara dalam hal kemudahan berdagang. Hal ini sebagaimana terdapat dalam "International Trade Barrier Index 2025" yang dikeluarkan Tholos Foundation. Hal ini disebabkan masih tingginya hambatan perdagangan berupa tarif dan pembatasan layanan.
Salah satu contoh terkini adalah larangan impor iPhone 16 oleh pemerintah Indonesia yang semakin menyoroti dampak kebijakan proteksionis seperti Persyaratan Kandungan Lokal (LCR) terhadap iklim perdagangan.
Baca Juga
Zakat Perdagangan dan Cara Menghitungnya
Pengajar Universitas Indonesia Ibrahim Kholilul Rohman mengungkapkan bahwa "Trade Barrier Index" digunakan untuk mengukur berbagai hambatan perdagangan, baik yang bersifat langsung seperti tarif dan kuota impor, maupun tidak langsung seperti aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan sertifikasi.
"Umumnya, negara-negara yang volume perdagangannya besar seperti Indonesia dan Vietnam akan berada di peringkat bawah dalam indeks ini. Sementara negara berbasis jasa seperti Hong Kong dan Singapura justru menempati posisi atas," ujarnya kepada NU Online pada Senin (12/5/2025).
Menurut Ibrahim, perbedaan ini dipengaruhi oleh struktur ekonomi dan geografis yang dimiliki oleh masing-masing negara. Singapura, misalnya, logistiknya sangat efisien karena berperan sebagai transhipment port. Sementara Indonesia, selain harus memproduksi di dalam negeri, juga menghadapi tantangan geografis sebagai negara kepulauan.
Ibrahim menyoroti tingginya biaya logistik domestik Indonesia yang mencapai 23,5 persen dari PDB, jauh lebih tinggi dibandingkan Thailand (15 persen), China (14 persen), dan Jepang (8 persen). Sebagai perbandingan, jarak Cikarang–Balikpapan hampir setara dengan Lisbon–Luxembourg di Eropa, tetapi biaya dan waktu pengiriman di Indonesia jauh lebih besar.
"Biaya logistik di Indonesia memang selalu mahal karena faktor geografis. Namun, ini harus menjadi perhatian serius jika ingin meningkatkan daya saing," kata pengurus Badan Inovasi PBNU itu.
Di sisi lain, Ibrahim menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa serta-merta membuka pasar secara luas, terutama di sektor digital. "Kita masih membutuhkan regulasi seperti TKDN untuk melindungi privasi dan keamanan data nasional," jelas ekonom senior di Indonesia Financial Group itu.
Meski demikian, ia menekankan bahwa perbaikan di berbagai aspek tetap harus dilakukan. Sebab, perankingan ini harus menjadi justifikasi bahwa masih banyak hal yang perlu ditingkatkan, seperti "cost of doing business (biaya bisnis), investasi, efisiensi pelabuhan, dan sistem logistik. "Ini semua harus bisa kita kontrol," katanya.
Dengan berbagai tantangan tersebut, Ibrahim berharap ada langkah-langkah strategis dari pemerintah dan pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing Indonesia di kancah perdagangan global.