Kunjungan Grand Syeikh dan Masa Depan Islam Moderat di Indonesia
NU Online · Sabtu, 27 Februari 2016 | 12:53 WIB
Oleh Muhammad Mu’afi Himam
Kunjungan bersejarah Grand Syeikh Al Azhar,
Prof Dr Ahmad Muhammed ath-Thayyib ke Indonesia memiliki pesan penting yang bersumbu pada kampanye Islam santun untuk dunia. Dengan
memilih Indonesia sebagai latar orasi kemanusiaan dan perdamaian dunia, ketua umum
Majelis al-Hukama Muslimin ini menyetujui posisi Indonesia sebagai “negeri tempat menyebarkan Islam sebagai agama yang
menyerukan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.”
Namun
bukan sikap pesimis berlebihan, kondisi masyarakat muslim Indonesia saat ini belum
sepenuhnya sesuai dengan apa yang diharapkan ath-Thayyib. Problematika
radikalisme dan terorisme yang menjadi agenda utama pemerintah dalam membenahi
masyarakat, menjadi bukti bahwa keislaman Indonesia masih jauh dari kata
moderat. Temuan peneliti LIPI menyebutkan, arus gerakan kekerasan yang dikembangkan
secara tersembunyi dan sistematis menjadi kendala utama pemerintah serta
beberapa ormas Islam dalam menangkal gerakan yang mulai menjamur sejak era
roformasi ini.
Ideologi Radikalisme
“Saya
percaya, selama ulama tidak bersatu terlebih dahulu, maka tidak ada harapan
untuk menyatukan umat,” kata ulama
kelahiran Qina, Mesir ini. Pada kenyataannya, kondisi ini memang sedang terjadi
di dunia Islam, tak terkecuali Indonesia. Beberapa perselisihan tersebut didasari
pada perbedaan yang rigid akibat fanatisme berlebihan pada seseorang maupun keyakinan
tertentu. Tak hanya itu, menguatnya dukungan material dan spiritual pada tiap
golongan semakin melebarkan jurang, alih-alih meredupkan perselisihan serta
menebarkan perdamaian.
Mengakarnya
kaderisasi kelompok radikal di beberapa kampus, yang sebagian besar merupakan
kampus-kampus negeri, semakin menguatkan posisi gerakan ini di kalangan intelektual.
Hal itu merupakan akibat dari gerakan yang sebelumnya telah menjamur di
beberapa sekolah menengah yang tak terjamah tangan pemerintah. Bahkan, sikap
intoleransi yang akrab dengan gerakan ini telah menyusup ke dalam birokrasi
pemerintah. Tak heran jika ada PNS bergabung dalam aksi demontrasi dengan
organisasi Islam garis keras menolak Pancasila.
Selain
itu, kondisi warga Indonesia yang berada di daerah konflik serta rawan konflik
seperti seperti Timur Tengah, perlu mendapatkan perhatian khusus. Beberapa
warga yang berstatus sebagai pelajar di kawasan ini mulai terjangkit pemikiran
“ISIS bukanlah teroris.” Bahkan,
sebagian pihak yang terjun di daerah konflik mulai menyebarkan bibit ideologi
ini kepada masyarakat Indonesia melalui jejaring media
sosial.
Dengan
munculnya beberapa kasus tersebut, terbukti segala elemen masyarakat serta
birokrasi tak lagi steril dari paham intoleran dan fundamentalisme yang tak
lagi terkontrol. Pemerintah sebaiknya tak perlu terlalu fokus pada insiden yang
merupakan produk dari indoktrinisasi yang memang telah terbentuk sejak lama.
Dengan momen kedatangan Grand Syeikh al-Azhar yang menekankan “kembali ke
khazanah klasik untuk menyikapi perbedaan”, pemerintah bekerjasama dengan ormas
Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah perlu memformulasikan
konsep Islam toleran untuk İndonesia, yang hingga kini masih mengendap di
permukaan. Konsep ini perlu segera digarap secara serius, bersamaan dengan
usaha pemerintah menanggulangi radikalisme hingga ke akarnya.
Sunni-Syiah
“Sunni dan Syiah adalah saudara,” terang Grand Syeikh di kantor Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Senin (22/02). Pernyataan
ini sekaligus menegaskan pendapat ath-Thayyib perihal Syiah. Islam mempunyai lima prinsip utama, dan kelompok Syiah
mayoritas tak menyangkalnya.
Pernyataan tersebut menjadi poin pertama yang disampaikan ath-Thayyib pada pertemuannya
bersama Menteri Agama. Memang, isu ideologi Sunni-Syiah mengemuka, atau
dikemukakan bersamaan dengan konflik kepentingan yang terjadi di Irak, Syiria
dan Yaman. Lantas, beberapa ulama seperti Syeikh Ramadhan al-Buthi, Muhammad Taufik al-Buthi,
Habib Ali al-Jufri, serta ath-Thayyib sendiri yang menentang gerakan pemberontakan di Syiria dengan
mudahnya dikategorikan menjadi pendukung Syiah.
Gerakan ‘mensyiahkan’ yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia
sebenarnya merupakan ‘gerakan sempalan’ yang pada hakikatnya juga berakar pada
radikalisme, mengingat gerakan mereka semakin dibatasi dan mulai
teridentifikasi sebagai golongan yang meresahkan. Dengan akar yang sama, tujuan
gerakan ini pun sama, menanamkan ideologi intoleran pada masyarakat. Isu Syiah ini
pada akhirnya berujung pada sikap saling mengafirkan sesama muslim. Oleh karenanya, sejak awal ath-Thayyib terus mengkampanyekan
Sunni dan Syiah sebagai saudara.
Indonesia
mungkin bisa belajar kepada masyarakat Mesir dan Turki dalam menghadapi konflik
ideologi ini. Di Mesir, al-Azhar mengadakan program rutin yang melibatkan
kelompok Sunni dan Syiah dari berbagai negara; Iran,
Lebanon dan Syiria. Program ini meliputi pengajian bersama di bulan Ramadhan,
peringatan 10 Muharram yang dirayakan oleh segenap elemen masyarakat, serta
dialog antar mazhab. Di Turki, walaupun para pengikut Syiah yang identik dengan
Jafariyah mempunyai masjid sendiri, namun ketika
shalat Jumat masjid tersebut juga dipenuhi oleh para pengikut Sunni, shalat
berdampingan tanpa kekerasan.
Persatuan
Grand
Syeikh menegaskan, umat muslim sebagai mayoritas penduduk İndonesia tak boleh
berdiam diri menghadapi problematika ideologi yang telah merambah hingga ranah
ekonomi, sosial dan politik. Masyarakat seharusnya bergotong royong dan mulai
mambangun jalan bersama mempertegas kembali identitas asli agama Islam
sebagai agama anti kekerasan.
Bagi
pemerintah, seruan ini merupakan momentum yang tepat untuk bekerjasama dengan
para pemuka agama. Pemblokiran situs dan media sosial penyebar paham radikal,
sosialisasi bahaya radikalisme serta operasi anti terorisme harus diiringi
dengan proyek “kembali ke khazanah klasik” sebagai wahana untuk mempertegas
identitas Islam Indonesia yang merupakan wujud dari Islam yang toleran, dan
anti kekerasan sebagaimana perintah yang telah diulang berkali-kali dalam ayat Al Quran.
Harapan Grand Syeikh, Indonesia sebagai negara muslim terbesar mampu menjadi pionir dalam mewujudkan mimpi yang sulit dan berat, mempersatukan ulama dari berbagai mazhab dan aliran dalam satu wadah dan organisasi, saling bertemu dan bermusyawarah serta bersepakat pada satu pendapat yang dapat disampaikan ke masyarakat. Mampukah Indonesia?
*Alumni Universitas al-Azhar, Kairo. Sedang menempuh pendidikan Master di Uludağ Üniversitesi Departemen Filsafat dan Studi Agama, Turki.
Terpopuler
1
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Kabar Duka: Ibrahim Sjarief, Suami Jurnalis Senior Najwa Shihab Meninggal Dunia
6
Ribuan Ojol Gelar Aksi, Ini Tuntutan Mereka ke Pemerintah dan Aplikator
Terkini
Lihat Semua