Tokoh

Murtadji Bisri: Tokoh Buruh NU, Wakil Rakyat yang Vokal

Ahad, 4 Mei 2025 | 09:09 WIB

Murtadji Bisri: Tokoh Buruh NU, Wakil Rakyat yang Vokal

Murtadji Bisri (Foto: Repro buku Hasil Rakjat Memilih Tokoh-Tokoh Parlemen (Hasil Pemilu Pertama - 1955) di Indonesia (Parlaungan, 1956)

Sebuah artikel pendek yang dimuat di Harian Pelita edisi Kamis tanggal 17 November 1977 memberitakan kabar duka. H Murtadji Bisri, Ketua Pertama serta Pendiri Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) meninggal dunia di kediamannya Jl Cokroaminoto 21 Surabaya.

 

Bagi pengurus maupun warga Nahdlatul Ulama (NU), khususnya di Jawa Timur, nama H Murtadji Bisri tentu cukup populer di masa itu. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Partai NU Wilayah Jawa Timur dan juga Ketua Pertama serta Pendiri Sarbumusi.

 

Mengenai profil singkat H Murtadji Bisri, penulis dapatkan di buku Hasil Rakjat Memilih Tokoh-Tokoh Parlemen (Hasil Pemilu Pertama - 1955) di Indonesia (Parlaungan, 1956) disebutkan profil singkatnya. Ia dilahirkan pada tanggal 15 Agustus 1918 di Jetis Kabupaten Ponorogo Madiun. Maksud Madiun di sini, tentu Karesidenan Madiun yang wilayahnya meliputi Madiun, Magetan, Ngawi, Pacitan, dan Ponorogo. Keresidenan ini kemudian dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Timur pada tahun 1928.


Berbekal pendidikan di MULO dan Kweekschool Islam (tamat pada tahun 1940), ia memulai karier pekerjaan sebagai seorang guru kepala di Sekolah Ma'arif NU Malang pada tahun 1942-1945. Kemudian pengawas umum pada pembagian bahan makanan untuk wilayah Kabupaten Malang (1945-1947). Selain itu, ia juga pernah menerima gelar Mayor Tituler (1947-1950), dan Sekretaris/Wakil Kepala Kantor Urusan Agama Provinsi Jawa Timur (1950-1956).


Keberadaannya di Malang juga ia pergunakan untuk aktif dalam wadah pergerakan dan perjuangan. Mulai dari Ketua bagian penerangan Masjumi Karesidenan Malang, Ketua Pendidikan NU Cabang Malang, dan Ketua Partai NU Jatim seperti yang telah disebutkan di awal.


Ketika NU menjadi Partai Politik dan ikut dalam kontestasi Pemilu 1955, H Murtadji Bisri terpilih menjadi Anggota DPR RI dari Partai NU hasil Pemilu 1955, dari daerah pemilihan Jawa Timur. Kemudian berlanjut sebagai anggota DPR RI pasca-Dekrit Presiden 1959 (1959-1960), dan DPR-GR (1960-1966) mewakili dari Buruh (Sarbumusi).


Ketika menjadi anggota wakil rakyat, H Murtadji Bisri tergolong cukup vokal menyuarakan pendapat, utamanya yang berkaitan dengan buruh. Dalam sebuah dokumen sidang DPR (lihat Risalah Perundingan Sidang IV, 17 November 1958) yang membahas Rancangan Undang-undang tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, ia berpidato:


"Diadjukannja di Parlemen rantjangan Undang-undang tentang nasionalisasi perusahaan Belanda, dengan ini fraksi kami dapat menjetudjui, malah persetudjuan tersebut sudah dimuat dalam pernjataan Pengurus Besar Sarbumusi tanggal 28 Oktober 1958 disurat kabar Duta Masjarakat: Dalam persoalan ambil alih perusahaan-perusahaan asing c.q. Belanda, jang berwadjib segera menjelesaikan dan rnenasionalisasikan seluruhnja dengan memberikan penggantian kerugian setelah Irian Barat kembali ke Ibu Pertiwi.."


Selain sepakat soal nasionalisasi perusahaan asing, ia mengingatkan agar pemerintah tetap memperhatikan para buruh ataupun pekerja di perusahaan tersebut. Juga melibatkan mereka di dalam upaya nasionalisasi tersebut.


"Saudara Ketua jang terhormat, sebagai penutup kami sarankan kepada Pemerintah dengan sungguh
mengenai pasaran kerdja buruh. Sebagai Pemerintah maklum, sedjak diambil-alihnja perusahaan-perusahaan Belanda, sebagian dari buruh kehilangan pasaran kerdja, umpamanja dari Koninklijke Paketvaart Maatschappij dan lain-Iain jang sudah tertjatat oleh Pemerintah hendaknja buruh-buruh tersebut segera dapat ditolong dipekerdjakan kembali. Salah satu dari tjaranja dalam saat menasionalisasikan di mana panitia akan bekerdja untuk merealisir, hendaknja serikat-serikat buruh diikut-sertakan duduk dalam panitia
."


Siapa Ketua Sarbumusi yang Pertama?
Lahirnya Sarbumusi pada 27 September 1955 atau hanya beberapa hari menjelang Pemilu 1955, memang tak dapat dipungkiri memunculkan pandangan bahwa NU hendak menggalang dukungan dari kaum buruh. Hal yang sama dilakukan oleh partai-partai lain di masa itu.


Namun, selain soal kepentingan politik, lahirnya Sarbumusi ini sebetulnya juga memiliki nilai keagamaan dan sisi historis. Alfanny dalam skripsi berjudul Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) 1955-1973 (FSUI, 2001, hlm 31) menuliskan kalangan pesantren yang menopang NU, telah lama menjadi simbol baru bagi kalangan masyarakat bawah dalam gerakan melawan penindasan.


Pun, kehadiran sejumlah pesantren yang didirikan tak jauh dari pabrik-pabrik. Semisal Tebuireng yang berada di dekat Pabrik Gula (PG) Tjoekir, kemudian Lirboyo di dekat PG Pesantren Baru yang didirikan oleh NV. Javasche Cultuur Mij. Pesantren Denanyar juga terletak tak jauh dari PG Jombang Baru, dan sejumlah pesantren lain yang memiliki kesamaan dalam hal geografis, yakni dekat dengan pabrik-pabrik. 


Di pabrik yang dekat dengan pesantren itu pula, yang kemudian menjadi basis awal dari perkembangan Sarbumusi. Sebelum mendirikan Sarbumusi, di PBNU sendiri sebetulnya sudah ada bidang yang mengurusi bagian perburuhan, yang diketuai Zainal Arifin Tanamas. Di beberapa daerah juga telah dibentuk serikat buruh NU, antara lain Ikatan Buruh NU (IBNU) di Karawang dan Sarikat Buruh NU (SBNU) di Tanjung Perak Surabaya (Burhan AS, Sarbumusi Riwayatmu Kini, 1998) sebagaimana dikutip Alfanny, 2001).


Setelah resmi dibentuk, disusunlah kepengurusan Sarbumusi. Di berbagai data yang penulis peroleh, semisal dari skripsi yang ditulis Alfanny (FSUI, 2001), kemudian artikel di NU Online berjudul Inilah Profil Konfederasi Sarbumusi, Banom NU Beranggotakan Buruh yang mengutip data dari NU Pedia (2022), terdapat data nama para ketua umum Sarbumusi dari masa ke masa (1955-2022).


Dalam tulisan-tulisan tersebut, menyebut KH Thohir Bakri (wafat 1959) sebagai pemimpin pertama Sarbumusi. Kemudian dilanjutkan KH Masykur (1961-1968), H Soetanto Martoprasono (1969-1973), H Junaidi Ali (2004-2007), dan hingga pada saat artikel tersebut ditulis masih dipimpin H. M. Syaiful Bahri Anshori (2010-sekarang). Tanpa menyebut nama H Murtadji Bisri sebagai salah satu tokoh yang pernah menjadi Ketua Umum PB Sarbumusi.


H Murtadji Bisri tercatat menjadi Anggota Tanfidziyah PBNU juga Ketua PB Sarbumusi, seperti yang tercantum dalam susunan kepengurusan PBNU hasil Muktamar NU ke XXI tahun 1956. (Lihat Buku Kenang-kenangan Mu'tamar ke-XXII Partai NU Tahun 1959 di Djakarta, JAMUNU, 1962).


Yang menarik, saat membaca obituari KH M Thohir Bakri yang ditulis sahabatnya H AA Achsien di Harian Duta Masjarakat edisi 11 Agustus 1959, hanya dipaparkan sebagai pendiri Ansor NO (ANO) dan anggota Badan Konstituante RI, tanpa menyebut kiprahnya sebagai pendiri ataupun ketua Sarbumusi.


Sejauh ini penulis juga belum mendapatkan dokumen pendirian Sarbumusi yang menyebutkan KH M Thohir Bakri sebagai ketua umum yang pertama. Alhasil, dalam artikel ini, penulis belum bisa memastikan siapakah ketua umum pertama Sarbumusi. Meski demikian, hilangnya nama H Murtadji dalam daftar ketua umum Sarbumusi patut menjadi koreksi.


Pada masa kepemimpinan Murtadji Bisri, Sarbumusi mengadakan sejumlah kegiatan. Salah satu kegiatan pendidikan kader yang diselenggarakan oleh Sarbumusi, yakni Cursus (baca: Kursus) Perburuhan. Kegiatan ini merupakan salah satu rekomendasi hasil dari Kongres I Sarbumusi, yang kemudian dilaksanakan hingga tingkatan cabang.


Bukti adanya kegiatan Kursus Perburuhan ini penulis temukan pada salah satu dokumen, yakni sertifikat kelulusan Ujian Akhir Kursus Perburuhan yang diselenggarakan Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Cabang Boyolali, Tahun Ajaran 1958 (23 s/d 27 Mei 1958).


Sertifikat yang penulis temukan tersebut, milik seorang aktivis Muslimat NU Boyolali, Nyai Hj Muslimah dan ditandatangani pengurus Sarbumusi Cabang Boyolali, yakni Ketua R. Slamet Kamaluddin dan Sekretaris Choironi. Kemudian di bawahnya, turut mengetahui Wakil Ketua Partai NU Cabang Boyolali KH M Dimjathi Soleh.


Yang menarik dari dokumen sertifikat Kursus Perburuhan Sarbumusi Cabang Boyolali tersebut, adalah materi yang diberikan kepada peserta dalam kegiatan kursus, tidak hanya berkaitan dengan dunia pekerjaan semata, tetapi juga menyangkut ideologi bahkan agama.


Materi yang diajarkan serta kemudian diuji, antara lain yang terkait dengan ilmu agama yakni membaca Al-Qur’an, kitab Fathul Mu’in, ushul fiqh, dan tauhid. Kemudian materi lain yakni korespondensi, administrasi kepegawaian, organisasi, dan ilmu tata negara. Tak lupa pula materi tentang K.U.H.P, H.I.R, sejarah Indonesia dan Islam.


Hal ini, tentu selaras yang penulis kemukakan di awal. Bahwa, lahirnya Sarbumusi tidak sekadar sebagai alat politik (Partai NU, pen), untuk menggalang dukungan massa dari kalangan buruh. Namun, lebih dari itu, Sarbumusi memiliki peran yang besar, baik secara sosial historis maupun misi keagamaan. Ia dapat menjadi wadah organisasi bagi warga NU atau kaum buruh pada umumnya dalam menyuarakan dan membela nasib kaum buruh ataupun para pekerja agar mendapatkan kesejahteraan dan keadilan.


Ajie Najmuddin, pemerhati sejarah NU