Jakarta, NU Online
Miqat merupakan waktu dan tempat yang ditentukan sebagai garis permulaan mengamalkan ibadah haji. Dari istilah ini miqat terbagi menjadi dua macam yakni miqat zamani yakni batasan waktu untuk berihram, sedangkan miqat makani yaitu tempat tertentu untuk berihram.
Adapun miqat zamani adalah rentang waktu dari bulan Syawal hingga sepuluh hari awal Dzulhijjah. Ketentuan ini sebagaimana disampaikan Ustadz M Alvin Nur Choironi dalam artikel NU Online berjudul Ini Miqat dalam Haji dan Umrah.
"Jika seorang yang ingin berhaji tetapi ihramnya tidak dilakukan pada bulan-bulan tersebut, maka ibadahnya hanya bisa disebut umrah, bukan haji," jelas ustadz Alvin secara tertulis, dikutip NU Online pada Rabu (14/5/2025).
Selanjutnya, Ustadz Alvin menyampaikan bahwa miqat makani bagi umat Islam berbeda-beda tergantung dari mana asal mereka. Pandangan ini ia rujukkan pada sebuah hadis tentang ketentuan miqat makani yang diriwayatkan Imam Bukhari, Muslim dan An-Nasa'i.
Baca Juga
Ini Miqat dalam Haji dan Umrah
"Miqat bagi penduduk Madinah terletak di Dzulhulaifah. Sedangkan miqat bagi penduduk Syam (Palestina, Syiria, Yordan), Mesir serta Maroko adalah di Juhfah. Sementara miqat penduduk Yaman adalah Yalamlam sedangkan penduduk Nejd berada di Qarn," jelasnya, menukil penjelasan Syihabuddin bin Naqib asy-Syafi’i dalam Umdatus Salik wa Iddatun Nasik.
"Bagi penduduk Iraq dan Khurasan, miqatnya berada di Dzatu Irq, akan tetapi yang paling utama adalah di Aqiq. Bagi jamaah haji sedang berjalan menuju Makkah maka miqat hajinya berada di Makkah sedangkan miqat umrahnya adalah adnal hilli (daerah yang lebih dekat dengan Makkah), yaitu Ji’ranah, Tan’im atau Hudaibiyah," sambungnya.
Tidak semua asal wilayah disebutkan miqatnya tak terkecuali jamaah asal Indonesia. Bagi jamaah haji Indonesia miqatnya disesuaikan dengan gelombang keberangkatan.
"Bagi jamaah gelombang pertama, miqatnya dimulai dari Dzulhulaifah (Bir Ali). Sedangkan bagi jamaah gelombang kedua, miqatnya ketika berada di atas pesawat udara pada garis sejajar dengan Qarnul Manazil atau di Airport King Abdul Azis Jeddah atau Embarkasi asrama haji di Tanah Air," jelas alumni Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Gresik itu.
Sejalan, pandangan tersebut diperkuat oleh putusan Munas Alim Ulama NU 2023. Bagi forum terbesar kedua NU ini, boleh hukumnya merubah miqat makani. Hal ini disebabkan adanya perluasan tempat pelaksanaan haji seperti lintasan thawaf, sai, dan padang arafah. Di samping itu, adanya perubahan moda transportasi dan asal jamaah yang semakin luas.
"Sehingga sangat sulit memulai ibadah haji dari tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Rasulullah maupun Sayyidina Umar, khususnya bagi jamaah yang jauh dari tempat-tempat itu," kata Ketua Bahtsul Masail Komisi Maudlu'iyah KH Abdul Moqsith Ghazali.
Oleh sebab itu, jamaah yang berasal dari kawasan belum memiliki miqat makani sesuai nash maka dapat melakukan ihram dari tempat yang sejajar (muhadzah) dengan miqat wilayah lain, yakni antara tempat tertentu dengan Mekkah tidak kurang dari dua marhalah (+- 80 Km).
Kiai jebolan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo itu pun menyampaikan, seandainya tidak ditemukan tempat yang sejajar dengan miqat mana pun maka jamaah bisa melakukan ihram dari tempat yang berjarak tidak kurang dari dua marhalah. Ijtihad kolektif ini menganggap nash terkait miqat makani mengandung unsur penalaran.
"Berdasarkan pandangan ini maka dapat dipahami bahwa penetapan miqat makani mengandung unsur ijtihadi-ta’aqquli (membolehkan memberikan ruang untuk menambahkan tempat miqat lain)," tandasnya.