Jakarta, NU Online
Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Mohammad Nuh menyatakan bahwa nadzir atau pengelola wakaf itu selain jujur dan amanah, juga harus mempunyai jiwa entrepreneur atau wirausahawan, sehingga harta wakaf bisa berkembang.
"Kalau dia pengelolalanya itu gak profesional, gak punya sense of bisnis, maka harta wakaf itu ya segitu-segitu aja, namanya waqaf, mandeg," kata M Nuh saat pada acara media gathering dan bincang wakaf produktif di Hotel Mercure Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (14/5).
Ia menyatakan bahwa dalam mengembangkan wakaf, BWI memerlukan keterlibatan media dan lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian kepada wakaf agar mensosialisasikannya kepada masyarakat.
"Tugas BWI dan panjenengan semua bisa ikut serta yaitu mensosialisasikan ini, memperbanyak para wakif dan nadhir sehingga nanti akan ada proyek-proyek yang didanai dana wakaf yang manfaatnya bisa dirasakan secara sosial, rame-rame," ucapnya.
Ia pun sempat mengemukakan perbedaan yang menonjol antara infak, sedekah, zakat, san wakaf. Menurutnya, jika ada orang yang membayar (berupa sedekah, infak, atau zakat) ke pengelola atau amil, maka oleh pengelola boleh langsung didistribusikan.
Namun jika pembayaran itu berupa wakaf, maka tidak boleh langsung didistribusikan, tetapi harus diolah terlebih dahulu, sehingga ada hasilnya. Hasilnya inilah yang didistribusikan ke mauquf alaih atau penerima manfaat.
"Sehingga ibaratnya kalau infak sedekah, zakat itu ayam, maka nerima ayam, ayamnya boleh dipotong, dibagikan, tapi kalau ayamnya itu berupa wakaf, maka ayamnya tidak boleh dipotong, tapi ayamnya harus diternak, hasilnya telor, telornya harus bisa dibagikan, sebagian telornya diternakan lagi jadi ayam baru lagi demikian seterusnya" terangnya. (Husni Sahal/Muiz)