Nasional

P2G Soroti 5 Dampak Negatif Hidupkan Kembali Penjurusan Bagi Siswa SMA

Rabu, 16 April 2025 | 15:00 WIB

P2G Soroti 5 Dampak Negatif Hidupkan Kembali Penjurusan Bagi Siswa SMA

Penjurusan di SMA kembali diperbincangkan buntut rencana kebijakan Kemendikdasmen untuk menerapkannya kembali di tahun ajaran mendatang. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Penghidupan kembali penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa bagi siswa SMA dinilai terkesan terburu-buru dan tanpa kajian evaluasi terhadap implementasi kurikulum merdeka (IKM). Hal ini dinilai dapat memberikan dampak negatif terhadap iklim pendidikan sekolah dan perkembangan pembelajaran siswa.


Setidaknya, ada lima hal yang menjadi dampak penjurusan ini. Pertama, penerapan kembali penjurusan akan dapat menghidupkan kembali kastaisasi rumpun mata pelajaran. Sejarah telah membuktikan saat penjurusan berkembang di kurikulum-kurikulum sebelumnya, jurusan IPA dinilai siswanya lebih pintar dan menjadi jurusan paling favorit.


“Ada labeling bahwa anak IPA itu paling pintar, adapun jurusan IPS anaknya biasa saja bahkan yang tidak terpilih di IPA masuk IPS dan Bahasa, pilihan sisa, persepsi itu yang terbangun puluhan tahun,” ungkap  Satriawan Salim, Koordinator Nasional (Kornas) Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), kepada NU Online pada Selasa (15/4/2025).


Kedua, pengkotak-kotakan IPA, IPS, dan Bahasa menjadi tidak relevan dengan perkembangan dunia keilmuan, dunia kerja, serta perubahan masyarakat global. 


“Ilmu pengetahuan sekarang sudah bersifat multi dan interdisipliner. Penjurusan tiga kelompok itu rasanya agak jadul (obsolete), akan memilah kecerdasan anak secara absolut,” katanya.


“Padahal tiap diri anak itu dapat punya potensi multi intelegensia, punya minat bakat yang bersifat lintas disiplin,” tambahnya.


Ketiga, perubahan kebijakan pendidikan terkesan maju mundur di hampir tiap pergantian menteri pendidikan. Kebijakan yang belum menyentuh persoalan fundamental pendidikan nasional di antaranya 1) kompetensi literasi, numerasi, dan sains anak Indonesia yang konsisten rendah bahkan makin buruk menurut PISA; 2) rendahnya rata-rata lama sekolah 8,77 tahun; 3) 60 persen SD dalam keadaan rusak: 4) empat juta lebih anak tidak dapat sekolah; 5) upah guru honorer yang jauh di bawah UMR; dan 6) biaya pendidikan yang masih mahal.


“Diskontinu dalam kebijakan pendidikan dapat berakibat tidak baik, sebab acuannya bukan ke Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025-2045. Menyebabkan kebingungan masyarakat, guru, siswa, dan orang tua,” ungkapnya.


Satriawan menilai lima tahun sekali kebijakan pendidikan diubah-ubah sesuai selera menterinya dan perubahan yang seolah biner atau kontras ini justru akan menghambat upaya mencerdaskan kehidupan bangsa untuk menuju Indonesia Emas 2045.


“Karena tiap lima tahun mulai dari nol lagi, tidak ada keberlanjutan atau discontinue. Lebih menyedihkannya sekali lima tahun anak Indonesia akan selalu menjadi kelinci percobaan kebijakan pendidikan,” ucapnya.


Keempat, ia mengatakan bahwa dengan kembalinya penjurusan akan merugikan siswa khususnya untuk kelas 11 SMA sekarang, akan ikut Tes Kemampuan Akademik (TKA) pada November 2025, yang mengambil rumpun campur IPA dan IPS tidak sesuai dengan pilihannya.


“Sebenarnya, dengan adanya TKA penjurusan sudah tidak relevan lagi secara otomatis. Sebab anak Kelas sebelas misal ambil pilihan mata pelajaran dengan formula Kurikulum Merdeka hingga saat ini ada Biologi, Kimia, Bahasa Inggris, Sosiologi. Dia ingin ambil jurusan Kedokteran. Ya pada saat TKA mata pelajaran pilihan yang diteskan pastinya Biologi dan Kimia,” katanya.


Kelima, guru di SMA Labschool Jakarta itu menyampaikan bahwa dengan adanya TKA, penjurusan sudah tidak relevan lagi secara otomatis. Menurutnya, TKA memiliki dampak negatif akan menyebabkan siswa demotivasi bahkan deligitimasi (pembatalan) profesi guru dan proses pembelajaran. Karena siswa hanya akan mementingkan mata pelajaran yang diujikan dalam TKA dan rapor tidak lagi berguna. 


“TKA akan menegasikan portofolio hasil prestasi non akademik dan akademik anak selama belajar. TKA mengakibatkan siswa hanya mengejar kemampuan kognitif. Pembelajaran di sekolah akan kembali difokuskan pada target capaian nilai TKA untuk lima mata pelajaran utama, sama persis dengan kondisi UN dulu,” ucap Satriawan.


“Dengan adanya TKA sebagai pengganti SNBP jalur prestasi, pembelajaran di sekolah akan diisi drilling target capaian nilai TKA untuk lima mata pelajaran utama. Mata pelajaran seni budaya, olahraga, agama, Pancasila rasanya menjadi tak penting bagi anak, sebab orientasinya lima matpel TKA itu,” lanjutnya.


Satriawan merekomendasikan sebaiknya Kementerian Dikdasmen hendaknya terlebih dulu mengevaluasi secara komprehensif implementasi Kurikulum Merdeka dan membuat kajian akademik terlebih dulu yang melibatkan semua stakeholder pendidikan dengan meaningfull participation, sebelum membuat kebijakan strategis.


“Mengingat Kurikulum Merdeka baru berumur empat tahun secara de facto. Lebih dari 95 persen sekolah telah mengimplementasikan kurikulum merdeka sampai tahun 2024,” katanya.


“Kemdikdasmen sudah seharusnya selalu mengacu pada Peta Jalan Pendidikan Indonesia (PJPI) 2025-2045 dan termasuk ke RPJPMN. Supaya ada sisi kontinuitas pembangunan pendidikan jangjka panjang, tentu dengan perbaikan tentunya,” lanjutnya.