Nasional

Hukum Haji bagi Perempuan dalam Masa Iddah 

NU Online  ·  Selasa, 20 Mei 2025 | 10:00 WIB

Hukum Haji bagi Perempuan dalam Masa Iddah 

Haji perempuan dalam masa iddah. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Haji merupakan salah satu rukun Islam dan diwajibkan bagi orang muslim yang mampu. Namun terkadang saat menjelang pelaksanannya terdapat halangan tak terduga, seperti halnya masa iddah yang belum selesai. 


Menanggapi hal tersebut, Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdlatul Ulama (NU) KH Mahbub Maafi Ramdlan menyebutkan bahwa mayoritas ulama berpendapat jika perempuan dalam masa iddah harus tetap tinggal di rumahnya dan tidak diperkenankan untuk pergi haji. Kiai Mahbub kemudian mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni.


"Secara global, perempuan yang sedang menjalani masa iddah karena ditinggal mati suaminya tidak boleh pergi haji dan selainnya," tulisi Kiai Mahbub dalam artikelnya berjudul Perempuan Haji dalam Masa Iddah Setelah Ditinggal Mati Suami dikutip oleh NU Online pada Selasa (20/5/2025).


Pandangan tersebut, lanjutnya, diriwayatkan dari sayyidina ‘Umar ra dan ‘Utsman ra, kemudian dikemukakan oleh Sa’id bin al-Musayyab, al-Qasim, Malik, asy-Syafi’i, Abu ‘Ubaid, kalangan rasionalis (pengikut Madzhab Hanafi, pent) dan ats-Tsauri.


Senada, Anggota LBM PBNU Nyai Hj Iffah Umniyati Ismail, juga menjelaskan bahwa pendapat mayoritas ulama Syafiiyah, Hanafiyah, Hanabilah menyebutkan bahwa perempuan yang sedang beriddah tidak boleh berhaji.


"Bahkan dalam Az-Zawajir, Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan perempuan yang keluar dari rumahnya tanpa ada uzur, tanpa ada hajat termasuk kabair (dosa besar)," ungkapnya dalam Kanal Youtube NU Online.


Meskipun demikian, Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir itu kemudian menyebutkan satu riwayat dari Sayyidah Aisyah yang menyatakan bolehnya melaksanakan haji bagi perempuan yang sedang beriddah.


"Beliau (Sayyidah Aisyah) pernah mengajak berhaji saudarinya, Ummu Kulsum, istri sahabat Tholhah bin Ubaidillah. Saat itu sahabat Tholhah baru terbunuh, kemudian Sayyidah Aisyah mengajak saudarinya untuk berhaji padahal beliau dalam masa Iddah," terangnya.


Nyai Iffah juga menjelaskan sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Sayyidah Aisyah pernah memberikan fatwa bolehnya perempuan yang sedang beriddah untuk melaksanakan ibadah haji. "Ini juga kemudian diambil dijadikan fatwa oleh Ibnu Hazm bahwa perempuan beriddah itu boleh haji," ungkapnya.


Di akhir, ia memberikan saran agar tetap mengikuti pendapat mayoritas ulama, jika memungkinkan untuk menunda pelaksanaan haji dan tidak memberatkan bagi perempuan yang sedang beriddah.


"Kalau memang ada hal-hal tertentu yang membuat perempuan susah, seperti kesehatannya semakin berkurang atau misalnya untuk melaksanakan prosedur yang sangat sulit sehingga bisa menunda haji, qaul atau pendapat yang kedua ini saya kira tetap bisa dipakai. Hanya saja kalau memungkinkan untuk menunda, maka sebaiknya kita mengikuti pendapat jumhur yang mengatakan bahwa perempuan yang beriddah tidak boleh berhaji," terang Nyai Iffah.


Menurutnya, hal tersebut dikarenakan haji adalah kewajiban yang boleh ditunda, sedangkan iddah memiliki batas waktu tertentu, yaitu empat bulan 10 hari. "Karena itu riwayat yang menjelaskan kebolehannya bisa misal kita menggunakannya dalam hal sekarang ini. Untuk mendaftarkan haji sekian lama tapi waktu datang haji ternyata ada dalam masa iddah," pungkasnya.