Di Masa Orde Baru, Pendiri IPPNU Ditahan di Polsek Gegara Ceramah, Ditolong oleh Ayah Gus Baha
Selasa, 8 April 2025 | 13:00 WIB
Ajie Najmuddin
Kolomnis
Ny Hj Basyiroh (wafat pada 2021) merupakan salah satu tokoh pendiri Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), yang berdiri pada 2 Maret 1955. Ia juga menjadi Ketua Umum pertama dalam format kepengurusan Pimpinan Pusat IPPNU, menggantikan Umroh Wahib Wahab (Umroh Machfudzoh) yang menjadi ketua dalam format Dewan Harian IPPNU.
Selama dua periode (1956-1958 dan 1958-1960) Basyiroh Shoimuri memimpin IPPNU. Setelah menikah dengan KH Zawawi Jenu Tuban, ia lebih dikenal dengan nama Basyiroh Zawawi. Selesai di IPPNU, ia melanjutkan perjuangan di lingkup NU hingga akhir hayatnya.
Dalam proses pengabdiannya di NU tentu penuh suka duka. Salah satu kisah dukanya ketika di masa NU masih menjadi partai oposisi melawan pemerintah Orde Baru. Pernah suatu ketika, ia ditahan di Kantor Polsek, setelah ia mengisi ceramah pada acara maulid nabi di Kragan, Rembang, Jawa Tengah.
"Pada tahun 1970-an, saya diundang (acara) mauludan di Kragan. Terus saya bicara, orang-orang Jahiliyah itu menyembah kuburan, wit gedhe (pohon besar). Nah, itu saya disalahkan. Tidak boleh. Terus saya dipanggil, ditahan di Kantor Polisi, setengah malam," ungkap Hj Basyiroh, saat penulis sowan ke kediamannya di Jenu pada November 2020 silam.
Di masa Orde Baru berkuasa, terdapat sebuah peraturan, bagi seorang mubaligh atau dai tidak bisa serta merta tampil, sebelum ia mendapatkan semacam surat izin mubaligh dari sejumlah pihak terkait, seperti ABRI, Kepolisian, dan lain-lain.
Pun, ketika ia berceramah, akan diawasi secara ketat oleh aparat keamanan. Apabila dianggap menyinggung isu sosial politik, maka sang mubaligh atau ketua panitia kegiatan tersebut, bersiaplah dipanggil pihak aparat keamanan untuk diinterogasi.
Nah, dalam kasus Ny Basyiroh saat itu, ia dianggap telah menyinggung Golkar, yang merupakan mesin politik Orde Baru, dengan menyebut pohon besar sebagai sesembahan kaum jahiliyah. Sehingga, ia pun mesti sempat ditahan untuk diinterogasi.
Untungnya, saat itu ia bisa dibebaskan berkat pertolongan dari ayah KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), KH Nur Salim (wafat pada tahun 2005) yang merupakan salah satu tokoh NU dan Pengasuh Pesantren di Narukan, Kragan, Rembang.
"Waktu itu yang menolong saya keluar dari Polsek, ya itu ayahnya Gus Baha, KH Nur Salim Kragan," kenangnya.
Bila dilihat dari kabar berita di zaman tersebut. Bebasnya Ny Basyiroh mestilah disyukuri. Sebab, tak jarang beberapa tokoh NU yang mendapatkan intimidasi bahkan berujung pada kekerasan, dan adapula yang hingga meninggal dunia. Penyebabnya hanya karena sebagian dari mereka menolak untuk masuk Golkar.
Majalah Pandji Masjarakat edisi No 82 Tahun V (1 Juli 1971) dan Duta Masjarakat misalnya, memuat berita seorang petani berusia 70 tahun dari Desa Slateng Kecamatan Ledok Ombo Kabupaten Jember, bernama Pak Salja, yang meninggal karena ditembak oleh seorang aparat bernama Jono. Pak Salja adalah aktivis NU yang termasuk menolak untuk masuk Golkar.
Menjelang penyelenggaraan Pemilu 1971, upaya yang dilakukan oleh Golkar untuk menggembosi suara NU juga par nitai lain semakin menguat. Babinsa yang semestinya ditugasi untuk mengatur administrasi keamanan di desa, juga melakukan pengawasan politik.
Reaksi keras
Reaksi dari berbagai intimidasi dan kebijakan yang dinilai banyak merugikan umat Islam ini, pada April 1971, 700 ulama berkumpul di Tebuireng dan mengeluarkan fatwa yang mengharuskan seluruh umat Islam untuk mencoblos satu partai Islam. Mereka meminta kepada pemerintah untuk menghentikan segala kegiatan yang dapat merugikan rakyat.
Salah satu tokoh NU yang secara terbuka kerap mengkritik pemerintah di masa awal Orde Baru adalah Subchan ZE. Yang menjadi sorotan utamanya adalah masalah penyalah gunaan wewenang, demokrasi, dan ketimpangan pembangunan ekonomi.
Arief Mudatsir dalam artikel berjudul "Subchan ZE: Buku Menarik yang Belum Selesai" yang dimuat di Majalah Prisma Edisi 10 Oktober 1983 menuliskan keresahan Subchan perihal masalah demokrasi yang didengungkan itu. Subchan selalu menghubungkan teoriteori tentang demokrasi dengan perubahan dan fenomena sosial serta di tempat mana demokrasi itu akan ditegakkan.
Menurut Subchan, yang menjadi esensi demokrasi adalah: (1) Suatu doktrin pemerintah untuk menghindari penyalah gunaan kekuasaan, penindasan, dan peniadaan terhadap HAM, (2) Suatu prosedur musyawarah untuk mendapatkan suatu pendapat yang kristal dari satu masyarakat, (3) Menciptakan suatu pemerintah di mana tidak terdapat suatu pengendapan kekuasaan pada jenjang tertentu, sehingga dengan demikian terdapat suatu contineus chain of control. Ini sebagai mekanisme atau safety mechanism.
Sayangnya, nasib Subchan yang bersuara lantang dan berani melawan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah pada akhirnya berujung pada kisah yang tragis. Pada 21 Januari 1973, Subchan mengalami peristiwa kecelakaan mobil, sewaktu dalam proses menunaikan ibadah haji. Jenazahnya dimakamkan di Makkah.
Lahumu al-fatihah!
Terpopuler
1
Menag: Tahun Ini Insyaallah Jadi Haji Akbar, Pahala 70 Kali Lebih Besar dari Haji Biasa
2
Khutbah Jumat: Keistimewaan Berbagi Kebahagiaan
3
Khutbah Jumat: Hikmah Diutusnya Para Nabi dan Diturunkannya Kitab-kitab
4
Larangan Penyalahgunaan Wewenang Keagamaan dalam Islam
5
Kegemaran KH Musthofa Aqil Siroj Baca Surat Al-Ikhlas
6
Alumni Pondok Tremas Jadi Pengusaha Konveksi, Ajaran di Pesantren sebagai Fondasi Bangun Usaha
Terkini
Lihat Semua