Semula Bernama Arubah, Islam Mengubahnya Menjadi Hari Jumat
Jumat, 18 April 2025 | 16:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pada mulanya, hari Jumat bernama Arubah. Ibnu Abdul Bar menyebut bahwa hari itu dinamakan Arubah karena saat itulah waktunya berbangga-banggan, hari kepongahan, bergagah-gagahan, berhias, dan kasih sayang.
Hal tersebut disampaikan Ustadz Halimi Zuhdy dalam artikelnya berjudul Sejarah Penamaan Hari Jumat, Muasal Terkikisnya Keangkuhan Manusia yang dikutip pada Jumat (18/4/2025).
Baca Juga
Keutamaan Membaca Shalawat di Hari Jumat
Tidak hanya itu, hari Arubah juga menjadi waktu orang Arab menampilkan hasil karya puisinya, hasil perdagangannya, temuan sihirnya, dan lainnya. Di hari sebelumnya, mereka berlomba mencari inspirasi, berdagang dengan strategisnya, dan berlatih mengungkapkan sihirnya.
Saat Islam datang, turun ayat Al-Qur'an surat al-Jumu'ah ayat 9 yang memerintahkan untuk menunaikan shalat Jumat dan perintah untuk mengingat Allah. Karenanya, hari Arubah yang semula ajang pamer dan berbangga-bangga akan hasil karya dan bisnisnya menjadi hari penuh keimanan dan waktu untuk kian mendekatkan diri kepada Allah swt. Bahkan, Jumat disebut sebagai tuan dari segala hari.
"Karena di dalamnya dipenuhi dengan keberkahan, keluarbiasaan, dengan sejarah panjangnya," tulis Ustadz Halimy.
Asal Jumat
Baca Juga
Dalil Keutamaan Hari Jumat
Ada tiga cara baca Jumat, menurut Kamus Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Ma'ashir. Ada yang menyebut Jum'ah (dengan mensukunkan mim), Jumu'ah (mim dibaca dlammah), dan Juma'ah (mim dibaca fathah). Bahasa Indonesia menyerap dari pilihan pertama, Jumat.
"Menurut Imam al-Farra', Dengan tiga bacaan di atas adalah merupakan sifat hari, artinya berkumpulnya manusia, seperti "Humazah" yang bermakna mengumpulkan," tulis Ustadz Halimy.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah dan Ibnu Abbas menyebut bahwa kata Jum'at berarti sempurnanya penciptaan yang dihimpun pada hari itu. Pendapat lain, karena pada hari itu, berkumpulnya orang-orang di Masjid besar (Jami') untuk shalat Jum'at. Ada pula yang berpendapat, Allah mempertemukan Adam dan Hawa di bumi pada hari itu.
Baca Juga
Keutamaan Sedekah di Hari Jumat
Namun, berdasarkan hadits Rasulullah saw yang terdapat dalam kitab Nailul Authar dan Fathul Bari, dinamakan Jumat karena tanah liat yang digunakan untuk penciptaan Nabi Adam itu dicetak. Pun kiamat dan kebangkitan terjadi, serta kehancuran melanda pada hari itu. Disebut juga dalam hadits tersebut, bahwa akhir tiga waktu pada hari itu, ada satu waktu, barang siapa yang berdoa kepada Allah pada waktu itu pasti doanya dikabulkan.
Namun, menurut salah satu pendapat, orang pertama kali yang memberi nama hari Jumat adalah Ka’ab bin Lu’ai. Saat itu, orang-orang Quraisy berkumpul mendatanginya pada hari itu, kemudian ia berkhutbah dan menyampaikan wasiat taqwa dan memberikan pelajaran kepada mereka.
Ustadz Halimy menegaskan bahwa hari Jumat tidak sekadar nama, tetapi itu adalah waktu penyatuan umat dan penguatan visi misi. "Buktinya, ketika khatib sudah membacakan khutbahnya, jamaah dilarang berbicara," tulis Dosen Bahasa dan Sastra Arab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang itu.
"Serta penguatan jalinan silaturahim antar-hamba Allah dalam satu keimanan dan peningkatan ketaqwaan sebagaimana pesan dalam khutbah Jumat, dan tidak hanya memikirkan dunia yang fana belaka (wadzarul bai')," lanjut Khadim Pondok Pesantren Darun Nun Malang tersebut.